Senin, 11 Maret 2013

A Girl with Scoliosis (Part 1)

Hai bloggers,

Saya Fera Leo dan saya seorang Scolioser. Saya tidak tahu apakah istilah Scolioser ini sudah pernah digunakan atau belum, yang pasti Scolioser yang saya maksud di sini adalah Scoliosis Fighter. Iya, saya mendapatkan anugerah itu, skoliosis. Asing dengan istilah ini?

Sedikit pengantar, scoliosis adalah suatu kelainan yang menyebabkan suatu lekukan yang abnormal dari spine (tulang belakang). Kebanyakan dari skoliosis tidak diketahui penyebabnya. Saya rasa informasi dan pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai skoliosis masih sangat minim. Di sini, saya bermaksud untuk berbagi informasi. Saya akan menceritakan sedikit tentang diri saya.

Saya seorang perempuan yang terlahir di Medan tahun 1993, dan sampai sekarang masih berdomisili di Medan. Mama adalah seorang penjahit yang sangat handal. Ayah adalah seorang binaragawan yang sangat keren dan seorang seniman yang sangat berbakat. Orang tua saya sangat berbakat, hanya sayangnya mereka sudah berpisah, entah sejak saya berumur berapa, saya lupa. Bukan masalah besar bagi saya. Jadi, saya tinggal bersama Mama sejak kecil.

Skoliosis ini mulai terlihat sejak sekitar saya duduk di kelas 4 SD. Saat itu saya baru selesai bermain dengan teman saya, dan merasakan sedikit sakit di tulang rusuk saya. Saat diperhatikan, tulang rusuk bagian kiri saya agak menonjol ke depan. Saya masih sangat kecil waktu itu, pikiran saya sangat positif dan tidak terpikirkan tentang kelainan atau apa pun. Mama terlihat mengkhawatirkan hal tersebut. Saya hanya bisa menenangkan Mama dengan berkata "Tidak apa, setiap orang juga sama koq Mama." Mama mengoleskan minyak kayu putih di bagian tulang rusuk saya yang menonjol itu.

Tahun demi tahun berlalu, saya melalui hari-hari saya dengan normal. Sesekali saya akan merasakan nyeri pada tulang rusuk sebelah kiri. Saya kira itu hal yang normal, karena saya sering mengerjakan PR hingga tengah malam, mungkin kecapekan. Saat mengenakan baju, saya merasakan bagian punggung saya bagian kanan, mulai menonjol. Lagi-lagi, saya kira itu hal yang wajar.

Masa SD dan SMP

Masa SD saya dilalui dengan normal seperti anak lainnya. Mama dan Papa pernah membawa saya ke dokter, dan bertanya mengenai tulang belakang saya yang sedikit aneh. Dokter yang kami kunjungi adalah dokter umum, dokter berkata ini bukan masalah yang besar dan hanya perlu supaya melatih saya duduk tegak.

Sejak kecil saya memang pendiam, di satu sisi saya bisa sangat cerewet bila berhadapan dengan orang yang sangat saya sayangi. Masa SMP saya juga dilalui dengan normal. Tidak ada gangguan aneh yang terasa. Gangguan pencernaan? Saya mengalami itu, tapi saya melihat teman-teman lain yang mempunyai bentuk fisik yang normal juga mengalami gangguan pencernaan. Saya pribadi tidak merasakan perubahan yang signifikan. Teman-teman masih memandang saya seperti orang normal, itulah yang saya rasakan.

Masa SMA

Di masa ini, segala sesuatu mulai berubah. Perubahan fisik saya mulai tampak jelas. Saya mulai memperhatikan penampilan. Kebetulan Mama seorang penjahit, seragam sekolah saya semua dijahit oleh Mama. Seragam sekolah saya semua berukuran longgar. Mama bilang saya tidak boleh mengenakan pakaian yang ketat karena itu akan membuat bentuk tubuh saya terlihat jelas. Kami sama sekali tidak tahu mengenai skoliosis. Yang kami tahu, badan saya miring.

Saya bersama sahabat saya terpilih sebagai paskibraka untuk mewakili kelas kami saat upacara sekolah. Yang saya ingin jelaskan bukan kebanggaan menjadi paskibraka, tetapi peristiwa saat latihan. Kami sedang latihan di lapangan sekolah saat itu, kami dilatih untuk berbaris dengan rapi dan tegap. Salah seorang teman saya berteriak dari kejauhan, "Fera, berdiri yang tegak dong!" Saya merasa saya sudah berdiri dengan setegak mungkin. Peristiwa itu sedikit membingungkan saya. Seusai latihan, saya berdiri di depan cermin. Saya berdiri membelakangi cermin, lalu menoleh ke arah cermin. Punggung sebelah kanan saya sangat menonjol seperti punuk pada orang yang bongkok, punggung sebelah kiri menjorok ke dalam. Pundak saya memang tidak sama tinggi. Saya menyadari satu hal, bentuk tubuh saya aneh, sangat aneh. Saya tidak menangis sama sekali. Saya tahu, ini skoliosis.



Mungkin karena body image saya yang buruk, saya sangat merasa kecil hati. Saya mulai merasa saya aneh, saya jelek. Orang-orang sering memandangi punggung saya seolah saya monster yang sangat aneh. Saya tidak suka tatapan itu. Bila Mama membawa saya jalan-jalan dan bertemu dengan teman Mama, semua akan menanyakan tentang punggung saya. Saya akan tetap tersenyum dan diam. Mama akan menjelaskan bahwa dia pernah jatuh saat saya berada dalam kandungannya yang berusia 8 bulan. Insiden yang Mama jelaskan bukan mengada-ada, itu memang pernah terjadi. 

Saat itu, kakak (yang biasa saya panggil Cie-cie"妹妹") berlari menyeberangi jalan, dan akan tertabrak truk. Mama yang melihat hal itu segera berlari menarik cie-cie untuk melindunginya. Saat itu Mama sedang mengandung saya 8 bulan. Mama dan cie-cie selamat. Mama berhasil menyelamatkan cie-cie. Tapi keduanya tersungkur di aspal pinggir jalan. Mama mengalami luka ringan (lecet di kulit), kandungannya dicek dan dokter bilang baik-baik saja. Cie-cie selamat sentosa. Mama selalu bilang, orang-orang mengatakan kandungan usia 8 bulan adalah usia dimana kandungan sangat rawan. Kebanyakan orang, bila mengalami kecelakaan atau jatuh saat mengandung usia 8 bulan, biasanya akan keguguran. Tapi Tuhan masih melindungi, semuanya selamat. Hal yang sangat patut disyukuri. Saat lahir, saya lahir dengan sangat sehat dan normal, bahkan saya sangat gemuk, sekitar 3,9 kg.

Mama menyalahkan dirinya dan cie-cie yang membuat saya begini. Bagi saya pribadi, saya tidak pernah menyalahkan siapa pun atas kondisi ini. Sama sekali tidak pernah.

Karena pandangan-pandangan itu, saya mulai mengucilkan diri saya sendiri. Saya hanya bersikap terbuka kepada beberapa orang yang saya anggap, bisa memahami diri saya. Saya mulai iri setiap melihat punggung teman-teman yang begitu rata. Saya iri melihat teman-teman perempuan saya mengenakan baju yang body-fit dengan sangat pas, sedangkan kalau saya yang mengenakan pakaian seperti itu, hanya akan membuat saya kelihatan seperti monster.

Saya mulai tidak menyenangi pakaian. Setiap pakaian bagus yang dijahitkan Mama, modelnya sangat bagus. Baju yang dijahitkan Mama dengan harapan saya dapat mengenakan baju-baju bagus. Tapi saat fitting, saya sering merasa baju itu terlihat aneh di badan saya. Saya akan bermuka kusut di depan kaca. Lalu ada saatnya harus memilih ukuran baju untuk seragam kelas kami saat perpisahan, saya akan sangat khawatir. Teman-teman perempuan saya memilih S, M. Saya sangat takut memilih salah ukuran. Mama berkali-kali menekankan bahwa saya harus mengenakan pakaian longgar. Akhirnya saya memilih ukuran M, dan saya sangat lega karena T-Shirt tersebut sangat cocok di badan saya, tidak longgar, tidak terlalu pas.

Sejak body image saya yang buruk, kalau ada teman yang menjauhi saya, saya mulai terbiasa. Saya berpikir, "Itu wajar kalau mereka tidak mau berteman dengan orang aneh. Nanti malah saya akan membuat mereka malu kalau mengajak saya keluar jalan-jalan dengan mereka." Tanpa saya sadari, saya mulai menarik diri dari lingkungan.

Lalu, saat saya menduduki kelas 3 SMA, ada sebuah terapi yang sangat populer, alat terapi itu menggunakan batu germanium yang dihangatkan. Saya rajin mengikuti terapi itu setiap hari karena terjangkau, dan Mama bilang punggung saya menunjukkan perubahan setelah mengikuti terapi itu. Suatu hari saya diajak untuk menemui ahli tulang belakang yang menjadi trainer dari terapi itu, solusi yang dia berikan adalah operasi. Biaya dari operasi sekitar 30 juta per ruas.Untuk kondisi saya, akan memakan biaya yang tidak kecil. Katanya, akan sulit bagi saya untuk sembuh dengan alat terapi ini.

Saya kecewa sekali, saya selama ini rajin mengikuti terapi tersebut karena saya percaya suatu hari saya pasti bisa sembuh dengan alat terapi itu. Bahkan jika ahlinya telah berbicara seperti itu, bagaimana saya bisa mempercayainya lagi? Saya sangat kecewa, saya mulai mengurangi frekuensi terapi. Lama-kelamaan saya tidak pernah mau pergi lagi. Jika Mama bertanya, saya akan beralasan sudah cukup capek dengan kegiatan sekolah. Saya tidak mau memusingkan Mama dengan urusan operasi. Seolah harapan saya untuk sembuh, sirna.

Start of Turning Point

Ada suatu saat Cie-cie membeli buku yang berjudul The Secret dan Chicken Soup for The Soul. Kedua buku itu berisi tentang motivasi dan pelajaran hidup. Justru karena di sudut yang gelap, saya bisa melihat bintang bersinar lebih terang. Saya mulai mengubah perspektif saya, kekurangan fisik yang saya miliki saat ini, justru membantu saya untuk melihat. Siapa yang benar-benar menyayangi saya dan tidak. Saya mempunyai sahabat-sahabat yang selalu menyayangi dan mendukung saya, terlepas dari siapa dan bagaimana saya. Meskipun jumlah sahabat saya tidak banyak, saya merasa kami punya ikatan yang kuat. Saya bisa melihat siapa yang berteman dengan saya karena ketulusan atau bukan. Untuk pertama kalinya, saya bersyukur atas kekurangan saya. 

Layaknya manusia biasa, saya sering kali jatuh bangun meskipun sudah mendapatkan motivasi yang sangat bagus itu. Tamat dari SMA, saya sangat takut. Saya terbiasa dikelilingi oleh orang yang sudah saya kenal dan sudah memahami saya apa adanya. Tamat dari SMA berarti saya akan memasuki dunia kerja dan dunia perkuliahan. Dunia baru, saya sangat bersemangat menghadapi halaman baru juga sekaligus sangat takut. Takut untuk melihat pandangan-pandangan itu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar